Sejarah mencatat berbagai peristiwa besar yang telah
terjadi, memaksa dan menegaskan bahwasanya pemenuhan dari hak kodrati, menjadi salah
satu prioritas utama bagi bangsa-bangsa di dunia. Pada Hakikat, Hak Asasi
Manusia sendiri merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara
utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan
kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung
tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama antara individu,
pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer),dan negara. Tetapi
bagaimana dalam realitanya, sebagai contoh, kasus yang menimpa human right defender, Munir.
Contoh kasus yang menimpa aktivis dan pejuang HAM Indonesia dan pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), merupakan salah satu bentuk dimana tidak dipahamaninya hakikat dari HAM itu sendiri.
Contoh kasus yang menimpa aktivis dan pejuang HAM Indonesia dan pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), merupakan salah satu bentuk dimana tidak dipahamaninya hakikat dari HAM itu sendiri.
Hak asasi manusia hakikatnya
semata-mata bukan dari manusia sendiri tetapi dari tuhan yang maha esa, yang
dibawa sejak lahir, hal ini diperkuat dengan teori dari
John Locke bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh
Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Dimana Hak kodrati tersebut meliputi hak hidup, hak kemerdekaan
atau kebebasan, hak milik dan hak – hak dasar lain yang melekat pada diri
pribadi manusia dan tidak dapat diganggu gugat oleh orang lain. Hak-hak asasi
ini menjadi dasar pelaksanaan pemenuhan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
lain[1].
Perumusan mengenai pengakuan hak asasi
manusia oleh dunia internasional, lahir pada desember 1948 di paris, dengan terbentuknya
“universal declaration of human
rights.” Dimana deklarasi tersebut
berhasil menelurkan diantaranya; ICCPR, ICESCR, dan Freedom of Speech,
Religion, Assembly, and Freedom of Movement. Dalam perkembangannya, Negara ASEAN
ikut mengadopsi nilai-nilai universal HAM PBB dimana, telah mendeklarasikan HAM
ASEAN dalam KTT ASEAN di Phnom Penh, Kamboja pada 18 November 2012[2]. Deklarasi HAM ASEAN tersebut menjadi sebuah sejarah
perkembangan baru bagi upaya memajukan dan menegakkan HAM di kawasan ASEAN oleh
masyarakat ASEAN itu sendiri. Karena hakekat sejati kerjasama ASEAN tertumpu
pada masyarakatnya, people
oriented. Kehendak individu warga negara di negara-negara ASEAN
untuk menciptakan sebuah komunitas yang dinamis, dimana HAM menjadi salah satu
pilar dalam membangun tatanan masyarakat ASEAN adalah sebuah keniscayaan di
masa depan yang tidak bisa dinafikkan oleh para pemimpin di ASEAN.
PENGAKUAN EKSISTENSI
LSM “HUMAN RIGHT DEFENDER” DALAM ASEAN
Deklarasi HAM ASEAN sejatinya tidak
lebih dari sebuah norma atau code of conduct untuk menciptakan
sebuah tatanan masyarakat yang adil dan beradab. Namun hakikat nilai HAM
terletak pada kehendak simbiosis
mutualisme anatara kaum mayoritas dengan kaum minoritas, Dimana kemajuan
dan penegakan nilai HAM di ASEAN tidak akan ditentukan oleh kualitas Deklarasi
HAM itu sendiri, namun oleh keinginan masyarakatnya untuk menciptakan sebuah
kehidupan yang harmonis, dinamis, dan soliditas dalam keberagaman, unitiy
in diversity.
Setiap negara anggota memiliki
identitas politik, ekonomi dan sosial budaya yang khas. Maka Keberadaan
Deklarasi HAM ASEAN diharapkan dapat menjadi ruh pemersatu dalam melahirkan
kebijakan nasional inklusif dan berorientasi pada pembangunan manusia dikawasan
ASEAN. Untuk itu, masyarakat sebagai kekuatan utama di ASEAN dituntut mampu
memberikan daya dorong dalam perubahan tatanan kehidupan di ASEAN. Akan tetapi, Deklarasi HAM ASEAN dalam
perumusannya melupakan aspek krusial tersebut. Tugas penghormatan, pemajuan,
pemenuhan, dan perlindungan HAM dari berbagai aspek (substansial, struktural,
dan kultural) dimana menjadi inti dari deklarasi HAM ASEAN, memang merupakan
bagian-bagian dalam upaya penegakan HAM yang dimana proses pemenuhannya merupakan
kewajiban dan tanggung jawab negara. Namun demikian, deklarasi HAM ASEAN
melupakan partisipasi masyarakat yang merupakan aspek yang paling berpengaruh
dalam tugas penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM itu sendiri.
Dalam deklarasi HAM ASEAN, masyarakat lebih dipandang sebagai subjek yang harus
dilindungi. Tanpa partisipasi masyarakat sangat diragukan upaya tersebut akan
dapat berhasil dengan baik. Unsur (kelompok) masyarakat yang sangat peduli
dengan bidang HAM, termasuk dalam aktivitas melakukan upaya hukum, seperti
kelompok LSM secara umum tidak diketemukan pengakuan universal secara hukum yang
menyangkut kelompok masyarakat tersebut. Umumnya kelompok ini adalah organisasi
swasta yang bersifat non profit dengan pola keanggotaan yang bersifat sukarela.
Dimana Mereka berkeja untuk pemajuan dan perlindungan HAM dalam prespektif yang
cukup luas. Keberadaan kelompok-kelompok masyarakat ini merupakan sarana bagi
pemajuan dan perlindungan HAM yang bersinergi dengan aspek substansial, struktural,
maupun kultural untuk keberhasilan perwujudan masyarakat yang damai, adil, dan
sejahtera yang sesungguhnya[3].
Negara-negara
di kawasan ASEAN, harus mampu memberikan perlindungan khusus bagi mereka yang
berjuang dalam penegakan HAM. Perlindungan terhadap para
pembela HAM merupakan hal penting, yang terkesampingkan di tengah upaya
penegakan HAM itu sendiri. Pemberian kewenangan atau pengakuan terhadap
aktivitas dari kelompok LSM pembela HAM, tersebut. Dimana secara umum tidak
dapat dijumpai pengakuan universal mengenai hukum dari LSM ini dapat
memperlihatkan secara universal, bahwa negara-negara ASEAN, menjadi pelopor dan
merupakan negara-negara yang telah lebih dahulu sadar bahwasanya, LSM tersebut
eksistensinya merupakan salah satu pemeran penting dari upaya penegakan HAM itu
sendiri.
Melihat kerentanan atas aktivitas kerja yang
dilakukan oleh para pembela HAM, sebagaimana pembelajaran dari kasus yang
menimpa aktivis munir, maka sangat diperlukan adanya sebuah regulasi mengenai perlindungan
kepada pembela HAM. perlindungan terhadap pembela HAM saat ini harus menjadi
prioritas utama pembahasanya bagi negara-negara ASEAN, pasca deklarasi HAM
ASEAN itu sendiri, dimana dalam upaya pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN
perlu mengingat keberadaan pembela HAM dapat mendukung kinerja dari
negara-negara ASEAN sebagaimana yang
telah dijelaskan sebelumnya.
Oleh : Teungku Ichramsyah
Oleh : Teungku Ichramsyah
[1] John locke, sebagaimana dikutip dalam, Geoffrey Robertson, KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN Perjuangan
Untuk Mewujudkan Keadilan Global, Jakarta: komisi nasional Hak Asasi
Manusia, 2002, hlm 10.
[2] Irwin Loy, “ASEAN Sepakati Deklarasi HAM
yang Kontroversial”, voaindonesia.com, 8/1/2013, 21.34 WIB.
[3] Muladi, hak asasi manusia
hakekat, konsep, dan implikasinya dalam perspektif hukum dan masyarakat, Bandung:PT
Refika Aditama, 2005, hlm 272-273.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar