Jumat, 23 Agustus 2013

Pengakuan Eksistensi LSM “HUMAN RIGHT DEFENDER” Dalam ASEAN



Sejarah mencatat berbagai peristiwa besar yang telah terjadi, memaksa dan menegaskan bahwasanya pemenuhan dari hak kodrati, menjadi salah satu prioritas utama bagi bangsa-bangsa di dunia. Pada Hakikat, Hak Asasi Manusia sendiri merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama antara individu, pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer),dan negara. Tetapi bagaimana dalam realitanya, sebagai contoh, kasus yang menimpa human right defender, Munir

Contoh kasus yang menimpa aktivis dan pejuang HAM Indonesia dan pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), merupakan salah satu bentuk dimana tidak dipahamaninya hakikat dari HAM itu sendiri.
Hak asasi manusia hakikatnya semata-mata bukan dari manusia sendiri tetapi dari tuhan yang maha esa, yang dibawa sejak lahir, hal ini diperkuat dengan teori dari John Locke bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Dimana Hak kodrati tersebut meliputi hak hidup, hak kemerdekaan atau kebebasan, hak milik dan hak – hak dasar lain yang melekat pada diri pribadi manusia dan tidak dapat diganggu gugat oleh orang lain. Hak-hak asasi ini menjadi dasar pelaksanaan pemenuhan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain[1].
Perumusan mengenai pengakuan hak asasi manusia oleh dunia internasional, lahir pada desember 1948 di paris, dengan terbentuknya “universal declaration of human rights.”  Dimana deklarasi tersebut berhasil menelurkan diantaranya; ICCPR, ICESCR, dan Freedom of Speech, Religion, Assembly, and Freedom of Movement. Dalam perkembangannya, Negara ASEAN ikut mengadopsi nilai-nilai universal HAM PBB dimana, telah mendeklarasikan HAM ASEAN dalam KTT ASEAN di Phnom Penh, Kamboja pada 18 November 2012[2].  Deklarasi HAM ASEAN tersebut menjadi sebuah sejarah perkembangan baru bagi upaya memajukan dan menegakkan HAM di kawasan ASEAN oleh masyarakat ASEAN itu sendiri. Karena hakekat sejati kerjasama ASEAN tertumpu pada masyarakatnya, people oriented. Kehendak individu warga negara di negara-negara ASEAN untuk menciptakan sebuah komunitas yang dinamis, dimana HAM menjadi salah satu pilar dalam membangun tatanan masyarakat ASEAN adalah sebuah keniscayaan di masa depan yang tidak bisa dinafikkan oleh para pemimpin di ASEAN.

PENGAKUAN EKSISTENSI LSM “HUMAN RIGHT DEFENDER  DALAM ASEAN
Deklarasi HAM ASEAN sejatinya tidak lebih dari sebuah norma atau code of conduct untuk menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang adil dan beradab. Namun hakikat nilai HAM terletak pada kehendak simbiosis mutualisme anatara kaum mayoritas dengan kaum minoritas, Dimana kemajuan dan penegakan nilai HAM di ASEAN tidak akan ditentukan oleh kualitas Deklarasi HAM itu sendiri, namun oleh keinginan masyarakatnya untuk menciptakan sebuah kehidupan yang harmonis, dinamis, dan soliditas dalam keberagaman, unitiy in diversity.
Setiap negara anggota memiliki identitas politik, ekonomi dan sosial budaya yang khas. Maka Keberadaan Deklarasi HAM ASEAN diharapkan dapat menjadi ruh pemersatu dalam melahirkan kebijakan nasional inklusif dan berorientasi pada pembangunan manusia dikawasan ASEAN. Untuk itu, masyarakat sebagai kekuatan utama di ASEAN dituntut mampu memberikan daya dorong dalam perubahan tatanan kehidupan di ASEAN. Akan tetapi, Deklarasi HAM ASEAN dalam perumusannya melupakan aspek krusial tersebut. Tugas penghormatan, pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan HAM dari berbagai aspek (substansial, struktural, dan kultural) dimana menjadi inti dari deklarasi HAM ASEAN, memang merupakan bagian-bagian dalam upaya penegakan HAM yang dimana proses pemenuhannya merupakan kewajiban dan tanggung jawab negara. Namun demikian, deklarasi HAM ASEAN melupakan partisipasi masyarakat yang merupakan aspek yang paling berpengaruh dalam tugas penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM itu sendiri. Dalam deklarasi HAM ASEAN, masyarakat lebih dipandang sebagai subjek yang harus dilindungi. Tanpa partisipasi masyarakat sangat diragukan upaya tersebut akan dapat berhasil dengan baik. Unsur (kelompok) masyarakat yang sangat peduli dengan bidang HAM, termasuk dalam aktivitas melakukan upaya hukum, seperti kelompok LSM secara umum tidak diketemukan pengakuan universal secara hukum yang menyangkut kelompok masyarakat tersebut. Umumnya kelompok ini adalah organisasi swasta yang bersifat non profit dengan pola keanggotaan yang bersifat sukarela. Dimana Mereka berkeja untuk pemajuan dan perlindungan HAM dalam prespektif yang cukup luas. Keberadaan kelompok-kelompok masyarakat ini merupakan sarana bagi pemajuan dan perlindungan HAM yang bersinergi dengan aspek substansial, struktural, maupun kultural untuk keberhasilan perwujudan masyarakat yang damai, adil, dan sejahtera yang sesungguhnya[3].
Negara-negara di kawasan ASEAN, harus mampu memberikan perlindungan khusus bagi mereka yang berjuang dalam penegakan HAM. Perlindungan terhadap para pembela HAM merupakan hal penting, yang terkesampingkan di tengah upaya penegakan HAM itu sendiri. Pemberian kewenangan atau pengakuan terhadap aktivitas dari kelompok LSM pembela HAM, tersebut. Dimana secara umum tidak dapat dijumpai pengakuan universal mengenai hukum dari LSM ini dapat memperlihatkan secara universal, bahwa negara-negara ASEAN, menjadi pelopor dan merupakan negara-negara yang telah lebih dahulu sadar bahwasanya, LSM tersebut eksistensinya merupakan salah satu pemeran penting dari upaya penegakan HAM itu sendiri.
Melihat kerentanan atas aktivitas kerja yang dilakukan oleh para pembela HAM, sebagaimana pembelajaran dari kasus yang menimpa aktivis munir, maka sangat diperlukan adanya sebuah regulasi mengenai perlindungan kepada pembela HAM. perlindungan terhadap pembela HAM saat ini harus menjadi prioritas utama pembahasanya bagi negara-negara ASEAN, pasca deklarasi HAM ASEAN itu sendiri, dimana dalam upaya pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN perlu mengingat keberadaan pembela HAM dapat mendukung kinerja dari negara-negara  ASEAN sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Oleh : Teungku Ichramsyah


[1] John locke, sebagaimana dikutip dalam, Geoffrey Robertson, KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN Perjuangan Untuk Mewujudkan Keadilan Global, Jakarta: komisi nasional Hak Asasi Manusia, 2002, hlm 10.
[2] , “ASEAN Sepakati Deklarasi HAM yang Kontroversial”, voaindonesia.com, 8/1/2013, 21.34 WIB.
[3] Muladi, hak asasi manusia hakekat, konsep, dan implikasinya dalam perspektif hukum dan masyarakat, Bandung:PT Refika Aditama, 2005, hlm 272-273.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar