Dewasa ini, tidak terlalu berlebihan bilamana kita menyebut korupsi sebagai salah satu ideologi. Mengapa saya berani mengatakan demikian, karena menurut pencetus pertama kali istilah ideologi yang bernama Antoine de Tracy, ideologi adalah ilmu tentang pemikiran manusia yang dapat menunjukkan pada kebaikan. Dalam perkembangannya, definisi ideologi terdistorsi menjadi asas, haluan, pandangan hidup mengenai dunia. Jadi tidak lagi mengenai baik dan buruknya hasil dari pemikiran itu. Ketika korupsi sudah menjadi trend, budaya dan bahaya laten yang ada dan bisa dirasakan keberadaannya, maka korupsi terkategorikan sebagai suatu ideologi.
Korupsi tidak diciptakan melainkan
tumbuh dan berkembang bersama pemerintah dan masyarakat. Yang menjadi fokus utama dari diskursus
berkepanjangan ini, bukanlah mengenai hukuman mati efektif tidakkah bagi
koruptor, tetapi lebih ke tinjauan filosofis, menelusuri arkeologi dari korupsi
itu secara kritis-radikal, sehingga akar
masalah (baca : biang keladi) dari korupsi itu bisa kita bongkar habis-habisan.
Korupsi berasal dari kata yang
berbahasa latin, corruptio. Kata ini
sendiri merupakan kata kerja corrumpere
yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok
Menurut Transparency Internasional
Korupsi adalah perilaku pejabat
publik, politikus, atau pejabat negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal
memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya, dengan cara
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka
Menurut Hukum Positif Indonesia
Penjelasan secara detilnya ada di
13 pasal UU No.31 tahun 1999 jo. UU No.21 tahun 2001. Menurut UU itu, ada 30
jenis tindakan yang dikategorikan sebagai tindak korupsi. Secara ringkas, tindakan-tindakan itu bisa
dikelompokkan menjadi
1. Kerugian-keuntungan negara
2. Suap menyuap (baca: sogokan, pelicin)
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi (baca: pemberian hadiah)
1. Kerugian-keuntungan negara
2. Suap menyuap (baca: sogokan, pelicin)
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi (baca: pemberian hadiah)
Korupsi merupakan salah satu
jenis dari sekian banyak kejahatan yang eksis. Sesuai dengan adagium Bang napi,
“kejahatan ada karena ada kesempatan +(motif).” Maka korupsi juga tak
dipungkiri demikian.
Kesempatan
·
Kekuasaan
“power Tends To
corrupt, absolute Power Tends to corrupt absolutely” - Acton
kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang
mutlak cenderung disalahgunakan secara muatlak pula. Seseorang bisa
menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya dan bertindak sewenang-wenang atas
kekuasaan yang dimilikinya. Parameter disalahgunakannya suatu kekuasaan adalah
apakah kekuasaan itu digunakan untuk kepentingan umum atau kepentingan pribadi.
·
Longgarnya pengawasan terhadap kekuasaan
Apa sih fungsi BPK? Mengawasi? Tapi mengapa yang
diawasi bisa luput dari pengawasan? BPK sebagai salah satu lembaga tinggi
negara yang disebutkan di dalam UUD 45 Bab VIII A, dapat kita simpulkan fungsi
suvervisinya tidak bisa mengimbangi kekuasaan eksekutif. Lalu bagaimana subjek
hukum yang mempunyai kewenangan menyelidik dan menyidik tindak pidana korupsi
yaitu KPK yang yang lahir untuk mengoptimalisasi fungsi Polri dan Kejaksaan?
·
Adanya objek untuk dikorupsi
Uang merupakan objek yang paling liquid didunia ini,
karena sebagai alat tukar dan alat ukur, uang bisa ditukar sekaligus mengukur
kesejahteraan. Jumlah uang yang sangat besar, tentu saja menggiurkan calon
koruptor untuk merealisasikan tindakannya.
·
Penegakkan hukum yang lemah dan payah
“law enforcement”
atau penegakkan hukum adalah suatu ujung tombak untuk terciptanya supremasi
keseluruhan hukum. Penegakkan hukum di Indonesia yang cenderung tebang pilih
(baca:pandang bulu). Maka dari itu, asas “equality
before the law” menurut para sosiolog sudah tidak menemui relevansinya.
Memang benar didepan hukum setiap orang sama. Tetapi apakah di belakang hukum
setiap orang sama?
Motif
·
Sentiment of ego
Di dalam karya Adam Smith yang berjudul “the theory of moral sentiment”, manusia
memiliki dua keinginan, yaitu sentiment
of ego dan sentiment of fellow.
Cetus adam smith “bukan semata-mata anda bisa menikmati daging, melainkan
karena mereka (pedagang daging) mementingkan diri sendiri. Sentiment of ego
yang besar, menghasilkan suatu “mind-blocking”,
yang mana pada akhirnya mengabaikan solidaritas dan kepekaan sosial, tentunya
kepekaan sosial terhadap masyarakat.
·
Will to Power
Maksud dari will
to power disini adalah konsep will to power menurut Nietzsche yang berawal
dari prototype machiavelli, dimana kekuasaan seseorang berawal dari ambisi.
Ketika seseorang ingin memperoleh kekuasaan, semua anasir-anasir mengenai
nilai, norma, moral, dan keadilan harus disingkirkan. Tentu saja seorang calon
koruptor tanpa will to power yang kuat tidak akan bisa menjadi seorang koruptor.
·
Wealth
Keinginan seseorang untuk mencapai kekayaan adalah
suatu hukum kodrat. Dengan kekayaan, seseorang bisa meningkatkan prestise nya
yang didalamnya sudah termuat harga diri dan kehormatan (terpandang).Kaya dalam
waktu instan mungkin sulit untuk dicapai. Jarang diantara orang yang mencapai
kekayaan instan dengan cara yang halal. Korupsi merupakan salah satu
diantarannya untuk mendapatkan kekayaan dalam waktu yang singkat. dengan ini
kita bisa menyimpulkan bahwa tujuan kekayaan untuk meningkatkan prestise dengan
cara terhormat sepertinya sudah terdistorsi dengan adanya cara yang lain
(baca:korupsi).
·
Greedy
Keserakahan adalah sifat dasar manusia yang bertitik tolak
dari rasa tidak pernah puas. Bahkan Niccolo Machiavelli di dalam il Principe berucap “seseorang lebih
mudah melupakan kematian ayahnya daripada melupakan bagian warisannya”. Tak
pelak, ucapan Machiavelli tersebut menemui relevansinya. Korupsi merupakan
refleksi dari sifat serakah manusia.
·
Homo Economicus
Determinasi kapitalisme, membuat manusia penuh dengan
pertimbangan. Maksud pertimbangan disini adalah pertimbangan untung-rugi.
Manusia cenderung berhasrat mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan
menghindari kerugian sekecil-kecilnya. Tentu saja korupsi pun dilakukan dengan
pertimbangan.
·
Homo homini lupus
Di dalam birokrasi pemerintahan, yang tersusun atas
komposisi struktural-fungsional, korupsi pun terjadi tidak lagi menjadi
kejahatan pribadi “Private Crime”,
melainkan “Collective Crime”. karena
sudah menjadi kejahatan bersama, korupsi dilakukan bareng bareng oleh atasan
dan bawahan. Ketika ada segelintir orang yang berkarakter idealis, sangatlah
malang, karena dia dikelilingi oleh para “serigala”. Sikut sana, sikut sini.
Akhirnya, sesuai dengan perkataan Hobbes yang selalu menjadi korban adalah
mereka yang berhaluan idealis di dalam kehidupan “manusia yang menjadi serigala
bagi manusia lain”.
Konklusi
Dengan sederetan kesempatan yang
besar dan motif yang kuat seperti yang diuraikan di atas, terbentuklah
paradigma “ada peluang, nggak korupsi rugi”. Jadi korupsi bisa disebut sebagai
kejahatan “aji mumpung.”
Dapat didilustrasikan sebagai
berikut “Ketika saya berkendara, melihat pengendara lain menerobos lampu merah,
satu demi satu pengendara yang lain menerobos dan saya mempertahankan posisi
untuk tidak melanggar rambu-rambu lalu lintas, di dalam benak saya terjadi
pergulatan pikiran afeksi-kognisi-psikomotorik. Akhirnya dengan sederet
pertimbangan, saya ikut-ikutan menerobos lampu merah.”
Sosiolog asal Amrik Shaw dan
Mckey mengatakan bahwa penyimpangan sosial adalah ekses dari proses sub-sub
kebudayaan yang menyimpang. Korupsi sebagai suatu penyimpangan sosial (dalam
kacamata sosiologi), telah menjadi nilai dan norma yang baru, dan dihayati oleh
si koruptor sebagai proses sosialisasi yang wajar.
Solving Problem
Solving Problem
Mempermasalahkan masalah tanpa
berusaha menemukan pemecahannya bukanlah
ciri seorang yang penuh integritas dan responsibilitas. Sebenarnya,
sederhana saja bagaimana mencabut akar-kar korupsi. Tsun Zu dalam The art of war berkata “ ingin menang perang? Kenali dulu siapa
musuhmu”. Uraian diatas walaupun sederhana tentunya memberikan kita stigma dan
bahan perenungan baru untuk mengetahui hakikat dari korupsi itu sendiri.
Setelah kita mengenali korupsi sebagai musuh kita, maka strategi/taktik nya
ialah:
·
Dari sisi kiri (kesempatan)
Ketika kesempatan sudah
memprakondisikan seseorang yang yang tadinya tidak memiliki motif untuk
melakukan tindak pidana korupsi, maka jalan satu-satunya adalah penguatan
kaidah internal otonom. Kaidah ini ditemui dalam norma kesusilaan dan norma
agama. Dengan Kaidah internal otonom yang kuat, seseorang yang mempunyai sitkon
yang mumpuni untuk tergoda melakukan perbuatan yang korup akan berfikir
sejenak. Pikiran-pikiran yang bersifat transendental-logis bergelut dengan
pikiran yang bersifat material-ekonomis. Ketika pikiran yang bersifat
trasnsendental-logis menang, terotomatisi dia akan melakukan tindakan rasional
berorientasi nilai. Namun jika pikaran yang bersifat material ekonomis yang
menang, maka bergegas akan dilanjutkan dengan tindakan rasional instrumental.
·
Dari sisi kanan (motif)
Motif yang kuat harus dibenturkan
dengan kesempatan yang nihil untuk melakukan korupsi. Kesempatan yang nihil
bisa tercipta dengan penguatan kaidah eksternal heteronom. Tentu saja norma
hukum yang harus mendeterminasi. Law enforcement yang tangguh bisa meningkatkan
wibawa hukum, karena lemah-kuatnya hukum dilihat dari penegakkan hukumnya.
Penegakkan Hukum dengan segala fungsinya (suvervisi, controlling, koordinasi, limitasi)
terhadap penyalahgunaan wewenang, bila mana sudah mencapai supremasi konkrit,
maka sederetan motif yang kuat untuk melakukan tindak pidana korupsi akan
terurungkan. Manakala korupsi kita kategorikan sebagai crimina extraordinaria, maka penegakkan hukum pun menjadi extraordinary law enforement. Saksi yang
bersifat refresif dan restitutif haruslah disintesiskan sehingga bisa menjadi
satu kesatuan sanksi yang kuat, karena sanksi adalah pedang dari law
enforcement.
Sumber Acuan :
Adam Smith, the Theory of moral Sentiment
F. Budi Hardiman, pemikiran-pemikiran yang membentuk dunia
modern
_______________, Kritik ideologi
_______________, Kritik ideologi
Max Webber, Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism
Niccolo Machiavelli, il Principe
Friedrich Nietzsche, the Birth of Tragedy
Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum
_______________ , Sosiologi suatu pengantar
Thomas Hobbes, Leviathan
Tsun Zu, The Art of War
UU Tipikor
Oleh : Yunus Taufik
Oleh : Yunus Taufik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar