Rabu, 27 Mei 2015

APA KABAR PERATURAN REKTOR UNPAD NO 1 TAHUN 2014?

APA KABAR PERATURAN REKTOR UNPAD NO 1 TAHUN 2014? Beberapa hari terakhir beredar surat edaran yang barasal dari Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia NO.01/M/SE/V/2015 tentang eveluasi terhadap beberapa peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan, dan salah satunya adalah terhadap permendikbud No.49 tahun 2014 mengenai standar nasional pendidikan tinggi, yang di dalamnya membahas mengenai batas studi di Perguruan Tinggi (PT) yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan di kalangan mahasiswa. Dalam surat edaran tersebut menteri menghimbau beberapa peraturan yang disebutkan dalam surat edaran tersebut untuk tidak diimplementasikan terlebih dahulu oleh perguruan tinggi, untuk lebih lengkapnya bisa dibaca di website http://dikti.go.id/blog/2015/05/21/surat-edaran-menristek-dikti-tentang-evaluasi-permendikbud/. Surat edaran tersebut menjadi angin segar bagi elemen-elemen yang saat ini tengah menkritisi aturan yang menurut mereka universitas seakan dijadikan pabrik buruh, atau tujuan kuliah bukan lagi ilmu tapi gelar dan tidak terkecuali bagi teman-teman yang tergabung dalam aliansi mahasiswa fh unpad. Bagi aliansi mahasiswa fh unpad, perjuangan belum berakhir karena peraturan rektor unpad NO 1 Tahun 2014 masih berlaku yang didalamnya mengatur mengenai batas studi mahasiswa 5 tahun. Disaat Permendikbud NO. 49 tersebut dinilai butuh evaluasi sehingga diminta untuk tidak terlebih dahulu di implementasikan, berarti ada yang dianggap kurang tepat dalam peraturan tersebut, padahal secara kalkulasi permendikbud tersebut telah cukup detail menggambarkan terkait masa studi 5 tahun. Lantas apa kabar dengan PERATURAN REKTOR UNPAD NO.1 TAHUN 2014? Jika Dengan kalkulasi yang sampai saat ini belum diketahui asal muasalnya, tidakkah kira-kira peraturan ini perlu di tinjau kembali implementasinya di universitas padjadjaran? Karena dibandingkan dengan pemendikbud diatas yang perlu ditinjau, permendikbud sendiri yang telah cukup detail kalkulasinya masih dipandang perlu untuk evaluasi,bagimana peraturan rektor ini dianggap tidak perlu dievaluasi padahal secara kalkulasi sampai saat ini belum di ketahui asal muasalnya. Sedikit klarifikasi dari teman-teman aliansi, banyak yang mempertanyakan kenapa kita mengkritisi aturan 5 tahun batas studi ini, alasan dari aliansi tidaklah muluk-muluk, kita hanya mengkritisi beberapa hal terkait aturan ini dalam hal dasar kalkulasi peraturan batas studi 10 semester tersebut. Kenapa terhadap aturan ini tidak ada pihak fakultas hukum yang dapat menjabarkan dasar kalkulasinya? Apakah fakultas hukum sama sekali tidak dilibatkan dalam pembentukan peraturan ini? Jika iya bagimana fakultas hukum dapat bersaing di tingkat nasional atau internasional jika dalam peraturan tataran universitas saja tidak dilibatkan pembentukannya? Jika perturan ini nantinya benar-benar terus di implementasikan apakah kira-kira pihak universitas mampu menjamin terhadap kualitas yang dikeluarkan UNPAD dengan masa studi yang di batasi tanpa kalkulasi ini? Jadi dapat disimpulkan teman-teman aliansi tidak mungkin akan mengkritisi peraturan ini jika memang rasionalisasinya jelas serta fakultas hukum dengan detail pula dapat menjabarkannya kepada setiap pihak yang mempertanyakan kalkulasi aturan ini, dan tentunya pertimbangan matang pihak universitas dalam membuat perturan ini mampu pula memjamin kuliatas insan akademis yang nantinya di keluarkan dari hasil peraturan ini. #aliansimahasiswaFHUNPAD

kasus Rohingnya

MASIHKAH ADA MANUSIA DI BUMI INI??? Sejatinya…. hakikat manusia adalah saling tolong menolong Sesungguhnya….. manusia membutukan manusia lain untuk menghadapi masalah dalam hidupnya Semestinya….. perbedaan tidak menjadi alasan untuk membantu sesama manusia Maka seharusnya….. seorang manusia akan membalas uluran tangan orang orang Rohingya Namun ketika tanga-tangan itu diam….. Lantas apakah bumi ini masih di huni oleh manusia??? Malam itu bau busuk menyegat tercium dari suatu daerah bernama Arakan. Daerah yang menyimpan sejuta sejarah. Daerah yang dulunya berdiri suatu kerajaan indah. Daerah yang dulunya merupakan tempat bagi etnis Rohingya untuk bisa tersenyum dengan ramah. Namun nampaknya senyum itu kini terlihat kelu. Dengan bibir yang mulai terlihat membiru. Dengan mata yang menangis tersedu-sedu. Menghancurkan semua cerita di masa lalu. Bau busuk itu masih menyengat tercium dari Arakan. Anak-anak berlari-lari ketakutan mencari orangtuanya. Ibu-ibu berteriak parau memanggil nama anaknya. Dan kaum laki-laki mencoba mempertahankan harga dirinya. Hanya saja, itu semua tidak cukup untuk menunda kematian. Darah-darah segar telah mengucur dari badan. Mayat-mayat mulai jatuh berantakan. Dan rumah-rumah telah di bumi hanguskan. Mungkin itulah sedikit gambaran tentang PEMBANTAIAN. Tidak ada yang tahu pasti bagaimana konflik ini bermula. Tidak ada yang tahu pasti apa akar permasalahannya. Dan pasti tidak ada yang tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Namun dengan sombongnya media massa berlagak seperti Tuhan yang Maha mengetahui. Mereka dengan percaya diri mengatakan ini konflik agama. Tentang sekelompok muslim yang bermusuhan dengan kaum budha. Tentang sekelompok imigran gelap yang tidak diakui negara. Entah ini fakta atau hanya politik adu domba. Tapi setidaknya kita sepakat akan sebuah fakta. Fakta bahwa terjadi pembunuhan orang-orang yang tak berdosa. Fakta bahwa gadis-gadis lugu diperkosa. Fakta bahwa kebebasan manusia dipenjara. Dan fakta bahwa hak asasi manusia telah tiada. Sungguh tidak berlebihan jika dikatakan bahwa hak asasi manusia telah lenyap disana. Hak hidup mereka direnggut. Hak bersuara mereka dibungkam. Hak beribadah dan memeluk kepercayaan dikekang. Hak untuk melanjutkan keturunan dibatasi. Anak-anak tidak mendapat pendidikan. Orang-orang sakit tidak mendapat pelayanan. Bahkan untuk sekedar bepergian pun mereka ditekan. Apakah mereka pikir pencabutan status kewarganegaraan yang menjadikan mereka tidak memilki negara itu belum cukup menyedihkan??? Hari demi hari mereka lalui dengan kepedihan. Telinga-telinga yang tuli akan keributan. Mata-mata yang buta akan pembunuhan. Tangan-tangan yang lelah untuk melawan. Namun keadilan tak kunjung mereka dapatkan. Yang ada sekarang adalah pengusiran. Dengan berat hati meninggalkan tanah kelahiran. Berharap diluar sana ada sedikit belas kasihan. Cukup kapal tua itu menjadi saksi perjuangan para pencari keadilan, mengarungi ganasnya lautan. Walau ratusan orang harus rela menjadi tumbal perjalanan. Sungguh Tuhan belum mengizinkan mereka untuk tertawa. Tubuh-tubuh menggigil itu ditodong dengan senapan yang membisu. Orang-orang yang sekarat dibiarkan berkarat. Kapal-kapal tua dipaksa kembali mengarungi samudera. Apakah bau keringat orang-orang Rohingya benar-benar tak bisa diterima??? Mungkin orang-orang Thailand, Bangladesh, dan Malaysia lebih paham akan jawabannya. Lantas dimana rasa kemanusiaan yang sedari dulu diagungkan? Dimana keadilan yang katanya tujuan kehidupan? Dimana hak asasi manusia yang disembah bagai dewa? Dimana hukum yang dipercaya sebagai panglima? Sungguh tak satupun dari mereka yang menunjukan wajahnya dihadapan orang-orang Rohingya. Apakah hukum itu hanya kebohongan? Apakah hak asasi manusia itu hanya bualan? Apakah keadilan itu hanya angan-angan? Dan apakah rasa kemanusiaan itu hanya sebuah keniscayaan? Namun masih ada satu pertanyaan besar yang perlu diajukan. Kemana Perserikatan Bangsa-Bangsa yang biasanya berlagak bagai raja? Mengintervensi orang-orang tak berdaya dengan bantuan senjata. Mempengaruhi orang-orang teraniaya dengan perjanjian yang memaksa. Mengambil alih hak-hak yang bukan miliknya. Tapi sekarang, mengapa mereka tuli, buta dan bisu di saat yang sama? Apakah karena disana tidak ada minyak bumi yang akan mereka perebutkan? Atau karena tidak ada ideologi yang harus mereka pertahankan? Tangis orang-orang Rohingya memang tidak bersuara. Tapi bukan berarti mereka tak nyata. Mereka nyata, kapal tua itu jadi saksinya. Dan kapal tua itu pula yang meyambung nyawa orang-orang Rohingya. Membawa mereka terdampar di daratan Aceh nan jauh disana. Membawa mereka kepada sedikit rasa bahagia. Setidaknya orang-orang Aceh mengizinkan mereka untuk menghirup udara. sekedar menambah waktu untuk melihat indahnya dunia. Sayangnya tak ada jaminan yang diberikan Indonesia sebagai negara penguasa Aceh. Tak ada pendidikan, tak ada pekerjaan, tak ada status kewarganegaraan dan tak ada masa depan yang mereka tawarkan. Lantas bagaimana nasib tubuh-tubuh kelam berwajah suram itu? apakah mereka tak wajib mendapatkan pendidikan? Apakah mereka tak patut mendapat pekerjaan? Apakah mereka tak layak memiliki tempat berdiam? Apakah mereka tak berhak untuk masa depan? Atau bahkan mereka memang tak pantas untuk sebuah kehidupan? Seseorang, tolonglah beri jawaban. Karena sejatinya, hakikat manusia adalah saling tolong menolong. Sesungguhnya, manusia membutukan manusia lain untuk menghadapi masalah dalam hidupnya. Semestinya, perbedaan tidak menjadi alasan untuk membantu sesama manusia. Maka seharusnya, seorang manusia akan membalas uluran tangan orang orang Rohingya . Namun ketika tanga-tangan itu diam, mungkin memang bumi ini tidak lagi di huni manusia. ALBERIZA HUTRIANTO ( Bidang PTKP HMI Komisariat Hukum UNPAD)

mengenai Permendikbud no 49 Tahun tahun 2014

PENDIDIKAN TINGGI HARI INI MEMANUSIAKAN MANUSIA ATAU MEMASARKAN MANUSIA PENDIDIKAN TINGGI HARI INI MEMANUSIAKAN MANUSIA ATAU MEMASARKAN MANUSIA "Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."dalam perspektif lain pendidikan bisa katakan bertujuan untuk memanusiakan manusia. Kenapa terlebih dahulu dibahas akan hakikat tujuan dari pendidikan nasional adalah semata-mata untuk menyelaraskan hakikat tujuan itu dengan realita hari ini terkhusus untuk perguruan tinggi. Dalam tataran universitas tentu istilah paling vital adalah mahasiswa yang merupakan organ inti daripada pendidikan tinggi yang sejatinya mampu mewujudkan apa yang menjadi tujuan dasar pendidikan nasional dan tridharma perguruan tinggi. Disaat mahasiswa dituntut untuk mampu mewujutkan hakikat tujuan serta tri darma perguruan tingginya Pemerintah bersama Kementrian Pendidikan dan Kebudayaantelah mengeluarkan regulasi tentang masa studi untuk program studi Strata I (S1) diseluruh perguruan tinggi. Regulasi tersebut tertuang dalam Permendikbud No. 49 Tahun 2014 Pasal 17 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT). Berdasarkan peraturan tersebut, beban belajar minimal mahasiswa S-1/D-4 adalah 144 SKS (satuan kredit semester). Sehingga untuk menuntaskan seluruh beban SKS, mahasiswa diberi batas waktu 4–5 tahun (8–10 semester).Dari regulasi aturan mengenai batas waktu studi diatas akankah mahasiswa mampu untuk mewujutkan apa yang menjadi tujuan serta hakikat dasar pendidikan itu sendiri? Pandangan bahwa kampus adalah wahana pendidikan untuk ‘memanusiakan manusia’ perlahan memudar. Hal ini seiring terkuaknya berbagai macam kontroversi di dalamnya, waktu studi yang semakin ketat dan singkat sebagaimana aturan dia atas, serta upaya-upaya menormalisasi kehidupan kampus agar sesuai dengan karakter produk yang akan dihasilkannya pekerja yang patuh dan terampil. Karena itu peranan universitas dan lembaga pendidikan sejenis menjadi semakin vital sebagai pemasok. Dalam posisi ini, kampus senantiasa berusaha mengintegrasikan diri ke dalam tatanan ekonomi global sebagai perusahaan sektor pendidikan. Ini kemudian menempatkan mahasiswa ke dalam dua posisi yang saling berhubungan: sebagai pekerja, sekaligus komoditi, bukankah dapat dikatakan pada akhirnya universitas hanya akan menjadi pabrik buruh. Agent of control, akan diletakan disisi manakah daya kritis mahasiwa yang menjadi penyambung lidah masyarakat ketika pembatasan terhadap masa waktu studi ini, ataukah memang dalam aturan ini terdapat tendensi pelumpuhan terhadap regenerasi pergerakan mahasiswa indonesia yang pada titik akhirnya mahasiswa di bentuk sesuai dengan permintaan pasar dunia kerja, yang artinya mahasiswa dibentuk sebagai buruh yang nantinya taat terhadap kapitalisme bukan lagi sebagai pemimpin,cendikiawan atau intelektual. Selain tentang bagaimana upaya mewujudkan hakikat dasar pendidikan dan tridarma perguruan tinggi serta upaya menjadikan kampus sebagai pabrik buruh, permasalahan mengenai rumitnya administrasi hampir di seluruh fakultas dari setiap universitas yang ada di Indonesia diakui banyak menyita waktu mahasiswa. Dengan sistem administrasi internal kampus seperti ini, akankah mampu mendukung terealisasikannya apa yang diamanatkan Permendikbud no 49 tahun 2014 tersebut. Dari beberapa permasalahan diatas akankah aturan terhadap pembatasan masa studi mahasiswa merupakan suatu solusi konkrit terhadap permasalahan pendidikan hari ini? Dari aturan tersebut akankah hakikat tujuan pendidikan serta tri darma akan tercapai? ataukah aturan tersebut bertujuan untuk menjadikan universitas sebagai pabrik buruh? mungkinkah aturan tersebut juga bentuk upaya pelemahan regenerasi terhadap pergerakan mahasiswa? Siapkah sistem administrasi seluruh kampus untuk mampu bekerja sama terhadap aturan itu? Untuk jawabanya Aliansi mahasiswa fh unpad siap untuk membedah permendikbud no. 49 Tahun 2014 serta berbagai permasalahan pendidikan hari ini. DIAM TERTINDAS ATAU BANGKIT MELAWAN!!!! HIDUP MAHASISWA!!! ALIANSI MAHASISWA FH UNPAD

Kasus Budi Gunawan

Pertimbangan hakim Sarpin yang mengabulkan permohonan praperadilan Komjen Budi Gunawan patut di analisis apakah telah sesuai dengan aturan yang ada ataukah tidak. Pasalnya tujuh putusan hakim sarpin yang secara substantif membebaskan Komjen Budi Gunawan dari status tersangka dirasa tidak memenuhi nilai kepastian hukum di mata masyarakat. Dalam pertimbangannya, hakim sarpin menjelaskan bahwa penetapan Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka karena penyalahgunaan wewenang Budi Gunawan saat menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi Sumber Daya Manusia Mabes Polri (Karobinkar) tidak dapat ditafsirkan sebagai penyelenggara negara karena Karobinkar hanya jabatan administrasi eselon I, selain itu jabatan Karobinkar dirasa bukanlah jabatan penegak hukum karena tidak melakukan tugas menegakkan hukum, dalam pemeriksaan bukti KPK tidak mengajukan dua alat bukti yang digunakan sebagai dasar penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka, kemudian surat perintah penyidikan Budi Gunawan tidak dikaitkan denga kerugian negara 1 miliar yang menjadi kewenanan KPK melainkan penyalahgunaan wewenang, hakim sarpin menyebut kualifikasi perhatian masyarakat seperti yang telah diatur oleh undang-undang KPK tidak terpenuhi, karena budi gunawan menjadi perhatian setelah menjadi calon tunggal kapolri. Pertimbangan hakim sarpin yang hanya didasari oleh pemeriksaan yang beliau lakukan dalam proses praperadilan serta hanya berdasarkan fakta hukum menurut saya tidaklah tepat, jikalaupun putusan hakim sarpin dapat dikatakan sebagai yurisprudensi namun perlu di ingat bahwa hakim didalam sistem hukum Indonesia dianggap sebagai corong dari undang-undang bahwa setiap putusannya harus berdasarkan peraturan perundang-undangan tidak semata-mata memutus tanpa dasar hukum yang tidak jelas atau keliru. Alasan penulis beranggapan bahwa hakim sarpin menggunakan dasar hukum yang tidak jelas atau keliru semata-mata didasari atas ketidakmampuan penulis memahami pertimbangan yang digunakan olehnya. Untuk pertimbangan yang mengatakan bahwa Komjen Budi Gunawan tidak di anggap sebagai seorang penegak hukum menurut penulis tidak sesuai dengan penjelasan yang ada dalam uu kepolisian republik Indonesia bahwa anggota kepolisian adalah pegawai negeri pada kepolisian Negara Republik Indonesia yang memiliki fungsi di bidang pemeliharaan keamanan, ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (pasal 1 UU Kepolisian Republik Indonesia jo pasal 2 UU Kepolisian Republik Indonesia). Peran Karobinkar yang dahulu diamanatkan kepada Komjen Budi Gunawan tidak dapat diartikan sebagai penegasian dirinya sebagai seorang anggota Kepolisian yang merupakan bagian dari penegak hukum karena UU tidak mengatur demikian. Alasan mengapa KPK tidak mengajukan dua alat bukti dimuka praperadilan menurut penulis sudah cukup jelas karena konten tersebut akan mereka buka pada sidang perdana pengadilan tipikor yang memang digunakan untuk menemukan kebenaran materill jikalau sidang prapradilan sudah meminta untuk ditunjukannya dua alat bukti tersebut itu bukanlah ranahnya dan tidak termasuk dari kewenangan absolut ataupun relatif praperadilan. Pasal 77 KUHAP sudah sangat jelas mengatur kewenangan absolut praperadilan yaitu untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan,sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, ganti kerugian dan atau rehabiltasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Tidak disebutkan bahwa praperadilan dapat memeriksa sah atau tidaknya penetapan tersangka. Kemudian dijelaskan bahwa hakim dapat dibenarkan dan tidak menyalahi pasal 77 KUHAP karena menggunakan penafsiran ekstensif, namun apakah penafsiran ekstensif yang dilakukan dapat dikatakan tepat ? untuk menjawab hal tersebut saya mengutip pendapat Hwian Christianto seorang dosen fakultas hukum Universitas Surabaya yang menjelaskan,meskipun penafsiran ekstensif dilakukan dengan melampaui batas-batas penafsiran gramatikal tidak berarti penafsiran ekstensif itu terlepas dari makna asli sebagaimana diatur didalam undang-undang . Penafsiran ekstentif tidak dapat dilepaskan dari adanya pemahaman bahwa didalam sebuah aturan (Rechtregel) terdapat kaidah hukum (rechtnorm) dan oleh karena itu penafsiran ekstentif harus mampu menebak maksud pembuat undang-undang. Penulis beranggapan bahwa kata “penghentian” tidak dapat dipisahkan/dihilangkan dari kata penuntutan dan/atau penyidikan, hal ini didasari oleh apa yang tercantum didalam penjelasan pasal 77 KUHAP didalam penjelasan atas undang-undang nomor 8 tahun 1991 tentang hukum acara pidana, bahwasannya pembuat undang-undang dalam hal ini menjelaskan bahwa penghentian penuntutan yang dimaksud tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang jaksa agung, dari hal tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa pembuat undang-undang tidak melakukan pemisahan/penghilangan kata “penghentian” dari kata “penuntutan”. Itu berarti menurut penulis pertimbangan hakim yang menerima perkara karena alasan bahwa penetapan tersangka adalah proses dari penyidikan tidaklah tepat dengan bunyi pasal 77 KUHAP, karena bunyi pasal 77 KUHAP cukup jelas berbunyi “sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan” bukan “sah atau tidaknya penyidikan atau penuntutan”, jika hakim menerima kasus prapradilan tentang sah atau tidaknya penghapusan status tersangka penulis masih dapat memahaminya. Kemudian jika kita melihat pasal 80 KUHAP, perkara yang menyangkut sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat dilakukan oleh penyidik penuntut umum, atau pihak ketiga yang berkepentingan. Menurut sepemahaman saya kuasa hukum ataupun Budi Gunawan sendiri tidak memenuhi 3 hal tersebut, jika demikian bagaimana mungkin hakim sarpin dapat menerima keinginan pemohon ? Pendapat lain yang dijadikan dasar hakim sarpin menerima sebagian permohonan pemohon adalah bahwa surat perintah penyidikan Budi Gunawan tidak dikaitkan denga kerugian negara 1 miliar yang menjadi kewenanan KPK melainkan penyalahgunaan wewenang tidaklah tepat, menurut penulis hal ini didasari bahwasannya pasal-pasal yang terkandung didalam UU KPK ada yang mengatur tentang gratifikasi,suap-menyuap,atau menerima hadiah yang tidak jelas dasarnya dan bukan hanya korupsi yang menimbulkan kerugian negara selain itu didalam penjelasan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 bahwa pasal-pasal tindak pidana korupsi adalah bagian dari delik formil yang tidak perlu diketahui apakah telah adanya suatu akibat dari perbuatan tindak pidana tersebut, selagi seseorang dapat diduga kuat melakukan tindak pidana yang memenuhi pasal bersifat delik formil maka orang tersebut dapat dikenakan oleh pasal tersebut. Jika hakim mempertanyakan tentang alat bukti yang dijadikan penetapan tersangka menurut penulis pemeriksaan oleh hakim seperti itu adalah pemeriksaan yang dimiliki oleh hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bukan hakim Praperadilan.

Upaya pencegahan terjadinya nikah muda

Upaya Pencegahan terjadinya Pernikahan Muda Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang berlaku terkait pernikahan anak di bawah umur sehingga pihak – pihak yang ingin melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur berpikir dua kali terlebih dahulu sebelum melakukannya. Selain itu, pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan undang – undang terkait pernikahan anak di bawah umur beserta sanksi – sanksi bila melakukan pelanggaran dan menjelaskan resiko – resiko terburuk yang bisa terjadi akibat pernikahan anak di bawah umur kepada masyarakat, diharapkan dengan upaya tersebut, masyarakat tahu dan sadar bahwa pernikahan anak di bawah umur adalah sesuatu yang salah dan harus dihindari. Upaya pencegahan pernikahan anak dibawah umur dirasa akan semakin maksimal bila anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam pencegahan pernikahan anak di bawah umur yang ada di sekitar mereka. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat merupakan jurus terampuh sementara ini untuk mencegah terjadinya pernikahan anak di bawah umur sehingga kedepannya di harapkan tidak akan ada lagi anak yang menjadi korban akibat pernikahan tersebut dan anak – anak Indonesia bisa lebih optimis dalam menatap masa depannya kelak. Berikut ini adalah upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah pernikahan muda, yaitu: • Undang-undang perkawinan Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun. Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental. Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. • Bimbingan kepada remaja dan kejelasan tentang sex education Pendidikan seks atau pendidikan mengenai kesehatan reproduksi (kespro) atau istilah kerennya sex education sudah seharusnya diberikan kepada anak-anak yang sudah beranjak dewasa atau remaja, baik melalui pendidikan formal maupun informal. Ini penting untuk mencegah biasnya pendidikan seks maupun pengetahuan tentang kesehatan reproduksi di kalangan remaja. Materi pendidikan seks bagi para remaja ini terutama ditekankan tentang upaya untuk mengusahakan dan merumuskan perawatan kesehatan seksual dan reproduksi serta menyediakan informasi yang komprehensif termasuk bagi para remaja. Meninjau berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia, agaknya masih timbul pro-kontra di masyarakat, lantaran adanya anggapan bahwa membicarakan seks adalah hal yang tabu dan pendidikan seks akan mendorong remaja untuk berhubungan seks. Sebagian besar masyarakat masih memandang pendidikan seks seolah sebagai suatu hal yang vulgar. Berdasarkan sudut pandang psikologis, pendidikan seksual sangat diperlukan bagi perkembangan remaja, dengan harapan agar remaja tidak memiliki kesalahan persepsi terhadap seksualitas dan tidak terjebak pada perilaku-perilaku yang kurang bertanggungjawab baik dari segi kesehatan maupun psikologis. - Memberikan penyuluhan kepada orang tua dan masyarakat. Memang mengubah suatu kepercayaan, dan budaya masayarakat tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang lama. Namun penyuluhan ini sangatlah penting agar para orang tua dan masyarakat mengetahui dampak apa saja yang dapat ditimbulkan karena pernikahan dini. Memang sebagian besar masyarakat atau orang tua segera menikahkan anaknya untuk melepas tanggung jawabnya untuk menfkahi sehingga dirasa dapat meringankan beban keluarga. Namun tanpa disadari, setiap satu remaja yang terjerumus dalam pernikahan dini faktanya menyumbangkan kemiskinan. Karena dalam usia dini, apalagi di pedesaan, para penduduknya tidak mempunyai perbekalan pendidikan dan keahlian yang dapat menunjang masa depan mereka. Kenyataan pun juga menunjukkan mereka pada akhirnya mengikuti orang tua karena belum mempunyai biaya untuk membeli rumah sendiri. Tak jarang juga akhirnya banyak pengangguran. - Bekerja sama dengan tokoh agama dan masyarakat Kepercayaan atau pengetahuan baru yang datang pada masyarakat yang sudah mempunyai kebudayaan yang kuat biasanya sangat sulit untuk diterima oleh masyarakat tersebut. Oleh karena itu strategi perlu dilakukan, pada awalnya kita dapat melakukan pendekatan pada tokoh agama atau tokoh masyarakat yang ada di daerah setempat. Setelah itu kita dapat melakukan kerja sama dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat tersebut untuk menyuluhkan hal- hal yang sudah diketahuinya pada masyarakat. Dengan demikian, sesuatu yang baru itu akan mudah diterima oleh masyarakat setempat. Tentu ini mempunyai andil yang cukup besar dalam pengambilan keputusan. http://www.averroes.or.id/research/hubungan-sikap-terhadap-penundaan-usia-perkawinan-dengan-intensi-penundaan-usia-perkawinan.html Upaya Pencegahan terjadinya Pernikahan Muda 1. Memberikan penyuluhan kepada orang tua dan masyarakat tentang cara peningkatan ekonomi, hal ini dapat bekerjasama dengan pihak pemerintah. 2. Bekerja sama dengan tokoh agama dan masyarakat dalam pembinaan pendidikan mewujudkan keluarga yang baik dan dapat dipertanggung jawabkan terhadap para orang tua dan remaja. 3. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan anak dan pengembangan potensi dan skill yang lebih baik. Upaya pencegahan pernikahan anak usia muda dirasa akan semakin maksimal bila anggota masyarakat desa Mukti Waras turut serta berperan aktif dalam pencegahan pernikahan anak usia muda yang ada di sekitar mereka. http://bangamma13.blogspot.com/2013/06/faktor-terjadinya-pernikahan-dini-usia.html

Gerakan 20 Mei

Koreksi Gerakan 20 Mei Mungkin sebagian dari kita kalimat gerakan 20 mei sudah begitu sering terdengar atau terbaca, akhir-akhir ini kita sering mendapatkan pesan mengenai rencana aksi masa untuk menurunkan pemerintahan dikarenakan memang selama lebih kurang delapan bulan kepemimpinan presiden JOKOWI banyak mengalami kelemahan disana sini, isu yang di lemparkan melalui pesan berantai via BBM atau melalui media sosial lainya yang memang di masa ini di gandrungi hampir mayoritas masyarakat indonesia terutama kaula muda dan kalangan mahasiswa. Kalimat gerakan 20 mei seakan jadi hot isue di meja-meja diskusi mahasiswa ataupun meja-meja kopi masyarakat, agenda gerakan yang pada awalnya isunya di motori oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh indonesia(BEM SI), walau pada akhirnya beberapa waktu lalu di bantahkan oleh koordinatornya sendiri. Jikalaupun gerakan ini suatu kebenaran,saya kira bukan suatu pilihan yang tepat atau solusi yang paling konkrit atas semua problema bangsa saat ini, kabinet kerja diatas kepemimpina presiden jokowi masihlah terlalu dini untuk mendapat tekanan seperti wacana gerakan itu, walau tidak dapat di pungkiri pemerintahan jokowi banyak mengalami kelemahan di berbagai bidang akan tetapi hal yang terlalu tergesa-gesa apabila gerakan penurunan ini dilakukan. Di berbagai media sosial khusunya, isu ini menjadi pembahasan yang menarik untuk di ikuti terutama dalam forum-forum mahasiswa, dan terakhir beberapa hari lalu saya membaca pernyataan sikap dari kelompok cipayung yang menolak atas agenda gerakan 20 mei. kelompok cipayung adalah sebutan lain bagi beberapa organisasi ekstra kampus yang semisal HMI,GMNI,GMKI,dll respon masyarakat terhadap pernyataan sikap itu amat beragam dan paling saya soroti adalah berbagai komentar yang menjurus mengatakan kelompok cipayung tidak lagi independent,cipayung tidak lagi sama dengan tujuannya sebagaimana di tahun 98,cipayung kini banyak di gerakan parpol dan berbagai macam tudingan di lontarkan atas sikap yang di ambil oleh kelompok ini dan lebih mirisnya komentar-komentar seperti itu datang dari mahasiswa yang sehari-harinya beraktifitas dengan kepala. Teramat disayangkan memang komentar-komentar seperti itu dikeluarkan dari hasil pemikiran seseorang yang sehari-harinya memang beraktifitas dengan bidang keilmuan. Jikalaulah dikatan mahasiswa sekarang tidak lagi sama dengan 98 saya sepakat akan hal itu, akan tetapi jika dikatakan tidak lagi punya keberanian sebagaiman mahasiswa 98 saya kira keliru, karena saya masih meyakini masih cukup banyak mahasiswa yang memilik mental pendombrak perubahan walau mungkin intensitasnya tidak lagi seperti di tahun 98 silam. Perlu saya kira kita semua masyarakat indonesia memahami terkhususnya mahasiswa atas apa yang terjadi di tahun 98 jika harus dibandingkan dengan saat ini 2015. Peristiwa 98 bukanlah suatu gerakan yang di bulan-bulan awal 98 menjadi pembahasan,gerakan reformasi tahun 98 adalah klimaks dari setelah sekian tahun pembahasan matang di kampus-kampus,juga adalah klimaks dari jutaan kali aksi turun kejalan, dan wajarlah suatu rezim benar-benar mampu di robohkan karena memang gerakan ini adalah gerakan puncak atau klimaks dari kegundahan mahasiswa dan rakyat. Walau semangat perubahan yang menggelora di masa itu baik dari rakyat atau mahasiswa untuk suatu reformasi kondisi negara tidak juga jauh berubah dan hasilnya adalah apa yang hari ini kita rasakan. Dengan berkaca atas apa yang telah terladi 17 tahun silam dan hasilnya yang kita rasakan hari ini, timbullah pertanyaan bagaimana kiranya jika gerakan 20 mei yang di isukan benar-benar terjadi seperti apakah hasilnya?. Bukankah gerakan ini pada akhirnya hanya akan melahirkan suatu gerakan yang premature. Yang jika di ibaratkan bayi yang dilahirkan secara paksa(aborsi) tentulah suatu hal mustahil akan mampu bertahan hidup, akibatnya gerakan ini hanya akan menjadi sesuatu yang sia-sia. Jika pun kita berandai-andai gerakan ini berhasil dan jokowi mampu untuk di lengserkan bagaiman solusi konkrit atas negara ini selanjutnya? Sedangkan peristiwa 98 saja yang merupakan klimaks dari seluruh gerakan di masa itu hanya mampu mewujudkan apa yang masyarakat indonesia hari ini rasakan, apa lagi jikalau suatu gerakan yang klimaksnya di paksakan tentu sangat kecil kemungkinan akan berhasil apalagi harus mewujudkan masyarakat adil makmur. jikalau pepatah katakan pengalaman adalah guru yang paling berharga saya kira pengalaman akan peristiwa 98 adalah guru yang perlu untuk kita haragai terkait isu gerkan 20 mei ini. Peran media serta selektivitas terhadap isu yang beredar adalah suatu keharusan di masa ini saya kira. jika penggiringa opini masih terus berlangsung dan masyarakat tak mampu dengan bijak menanggapinya ini bisa jadi awal petaka bagi indonesia, petaka yang pada akhirnya tidak menutup kemungkinan kekacauan di segala lini indonesia terjadi tentunya adalah pada akhirnya persatuan dan kesatuan merupakan tameng paling ampuh atas semua ini. salam satu indoneisa ku, jayalah negeriku.